Nov 2022 | Assessmentindonesia.com
Gangguan Kesehatan Mental Karena Kurang Iman
Spiritualitas dapat diartikan sebagai kekuatan yang membuat seseorang memiliki kepercayaan tentang sesuatu yang melampaui seseorang atau tujuan dan makna alam semesta yang lebih tinggi dan lebih besar; mengetahui di mana letak atau tempat seseorang di dalam suatu skema yang lebih luas; serta memiliki kepercayaan terkait makna hidup yang kemudian membentuk tindakan serta memberikan kenyamanan dan kebahagiaan.
Beberapa studi yang dilakukan di Amerika menunjukkan kaitan antara kepercayaan kepada Tuhan dengan hasil positif terhadap kesehatan mental. Studi pada orang dewasa di wilayah San Francisco Bay pada tahun 2005 menunjukkan bahwa menjadi religius dapat menghambat depresi di antara orang-orang dengan kesehatan mental yang tidak baik, sementara level depresi yang tinggi ditemukan pada orang-orang dengan kesehatan yang buruk dan tidak religius.
Selanjutnya, studi tahun 2013 terhadap pasien rumah sakit yang mendapatkan perawatan karena isu kesehatan mental (seperti depresi dan kecemasan) menunjukkan respon yang lebih baik terhadap perawatan jika mereka memiliki kepercayaan kepada Tuhan, meskipun beberapa diantaranya tidak mengklaim konsep kepercayaan agama tertentu tetapi mereka memiliki kepercayaan terkait adanya kekuatan yang lebih besar.
Review Dr. Harold G. Koeing terhadap 93 studi tentang agama dan kesehatan menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih religius memiliki gejala depresi yang lebih rendah. Mereka yang lebih religius dan banyak terlibat dalam praktik-praktik keagamaan atau ibadah cenderung dapat mengatasi stres dengan lebih baik.
Di Indonesia sendiri, penelitian yang melihat hubungan antara religiusitas dengan kondisi kesehatan mental juga telah dilakukan dan dipublikasikan. Baidi Bukhori mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal Psikologika pada Juli 2006, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara religiusitas, kebermaknaan hidup dan kesehatan mental siswa, yang mana religiusitas dan kebermaknaan hidup berkontribusi sebesar 57,2% untuk kesehatan mental siswa.
Sebaliknya, coping religius negatif melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam hubungannya dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan tidak menyenangkan terhadap dunia, dan perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara/berdialog dengan orang lain dalam kehidupan. Salah satu bagian dari coping religius negatif adalah menilai bahwa sumber stres itu adalah hukuman dari Tuhan atas dosa-dosanya dan atau tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat/setan. Dr. Andrew Newberg menyebutkan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap otak orang-orang yang memiliki kepercayaan agama tertentu juga dapat memberikan penjelasan tentang hubungan agama dan kesehatan mental. Penelitian tersebut menemukan bahwa para meditator yang melakukan meditasi dalam jangka waktu yang sudah lama memiliki lebih banyak aktivitas di area lobus frontal otaknya, seperti prefrontal cortex, dibandingkan dengan orang yang bukan merupakan meditator jangka panjang.
Penguatan area otak tersebut dapat membantu seseorang menjadi lebih tenang, lebih kurang reaksi, dan lebih baik dalam berhubungan dengan sumber stres. Menjauhi perilaku-perilaku tidak sehat tersebut juga dapat bermanfaat untuk keberfungsian otak yang pada gilirannya dapat mendukung kesehatan mental. Meskipun beberapa penelitian telah mendukung hubungan positif antara religiusitas dan kesehatan mental, namun ada juga studi yang menunjukkan bahwa terkadang religiusitas dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Sebagaimana mekanisme yang dijelaskan Dr.
Newberg terkait hubungan positif kepercayaan terhadap agama dan kesehatan mental, kebencian yang dikaitkan dengan keyakinannya (misalnya, kebencian terhadap orang lain yang tidak beragama maupun berbeda keyakinannya dengannya) juga akan menjadi bagian dari cara otak bekerja. Area otak yang terlibat dalam proses berpikir tentang kebencian akan diaktifkan dan hal ini dapat meningkatkan stres dan menstimulasi pengeluaran hormon stres. Selain itu, jika seseorang meyakini bahwa kondisi kesehatannya yang buruk adalah bentuk hukuman dari Tuhan, mereka kemungkinan cenderung untuk kurang terlibat dalam perilaku mencari bantuan perawatan. Hasilnya, gejala-gejala gangguan mental lebih banyak ditemukan pada kelompok yang meyakini bahwa Tuhan adalah penghukum.
Faktanya, kesehatan mental bisa dipengaruhi oleh banyak hal dan religiusitas bukan faktor utama mental seseorang dapat dikatakan sehat. Religiusitas dapat mempengaruhi rasa nyaman dan ketenangan seseorang. Namun terkadang terdapat stressor tertentu yang terasa berat dan manusia kurang mampu menerima kapasitas tersebut. Referensi :halojiwa.id.(2018).Religiusitas dan Kesehatan Mental.health.detik.com/.(2020).Psikolog Sebut Tak Ada Kaitan Tingkat Religiusitas dan Kesehatan Mental
Review Dr. Harold G. Koeing terhadap 93 studi tentang agama dan kesehatan menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih religius memiliki gejala depresi yang lebih rendah. Mereka yang lebih religius dan banyak terlibat dalam praktik-praktik keagamaan atau ibadah cenderung dapat mengatasi stres dengan lebih baik.
Di Indonesia sendiri, penelitian yang melihat hubungan antara religiusitas dengan kondisi kesehatan mental juga telah dilakukan dan dipublikasikan. Baidi Bukhori mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal Psikologika pada Juli 2006, yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara religiusitas, kebermaknaan hidup dan kesehatan mental siswa, yang mana religiusitas dan kebermaknaan hidup berkontribusi sebesar 57,2% untuk kesehatan mental siswa.
Sebaliknya, coping religius negatif melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam hubungannya dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan tidak menyenangkan terhadap dunia, dan perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara/berdialog dengan orang lain dalam kehidupan. Salah satu bagian dari coping religius negatif adalah menilai bahwa sumber stres itu adalah hukuman dari Tuhan atas dosa-dosanya dan atau tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat/setan. Dr. Andrew Newberg menyebutkan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap otak orang-orang yang memiliki kepercayaan agama tertentu juga dapat memberikan penjelasan tentang hubungan agama dan kesehatan mental. Penelitian tersebut menemukan bahwa para meditator yang melakukan meditasi dalam jangka waktu yang sudah lama memiliki lebih banyak aktivitas di area lobus frontal otaknya, seperti prefrontal cortex, dibandingkan dengan orang yang bukan merupakan meditator jangka panjang.
Penguatan area otak tersebut dapat membantu seseorang menjadi lebih tenang, lebih kurang reaksi, dan lebih baik dalam berhubungan dengan sumber stres. Menjauhi perilaku-perilaku tidak sehat tersebut juga dapat bermanfaat untuk keberfungsian otak yang pada gilirannya dapat mendukung kesehatan mental. Meskipun beberapa penelitian telah mendukung hubungan positif antara religiusitas dan kesehatan mental, namun ada juga studi yang menunjukkan bahwa terkadang religiusitas dapat berdampak buruk pada kesehatan mental. Sebagaimana mekanisme yang dijelaskan Dr.
Newberg terkait hubungan positif kepercayaan terhadap agama dan kesehatan mental, kebencian yang dikaitkan dengan keyakinannya (misalnya, kebencian terhadap orang lain yang tidak beragama maupun berbeda keyakinannya dengannya) juga akan menjadi bagian dari cara otak bekerja. Area otak yang terlibat dalam proses berpikir tentang kebencian akan diaktifkan dan hal ini dapat meningkatkan stres dan menstimulasi pengeluaran hormon stres. Selain itu, jika seseorang meyakini bahwa kondisi kesehatannya yang buruk adalah bentuk hukuman dari Tuhan, mereka kemungkinan cenderung untuk kurang terlibat dalam perilaku mencari bantuan perawatan. Hasilnya, gejala-gejala gangguan mental lebih banyak ditemukan pada kelompok yang meyakini bahwa Tuhan adalah penghukum.
Faktanya, kesehatan mental bisa dipengaruhi oleh banyak hal dan religiusitas bukan faktor utama mental seseorang dapat dikatakan sehat. Religiusitas dapat mempengaruhi rasa nyaman dan ketenangan seseorang. Namun terkadang terdapat stressor tertentu yang terasa berat dan manusia kurang mampu menerima kapasitas tersebut. Referensi :halojiwa.id.(2018).Religiusitas dan Kesehatan Mental.health.detik.com/.(2020).Psikolog Sebut Tak Ada Kaitan Tingkat Religiusitas dan Kesehatan Mental