Ada masa ketika hidup terasa ringan: sekolah, bermain, lalu pulang tanpa memikirkan tagihan, keputusan besar, atau masa depan. Kerinduan akan masa itu wajar, semua orang pernah merasakannya. Namun dalam psikologi, ada istilah yang digunakan untuk menggambarkan kecenderungan seseorang terjebak terlalu lama dalam nostalgia tersebut: Peter Pan Syndrome.
Bukan sebuah diagnosis, bukan label, dan bukan vonis. Hanya sebuah cara memahami dinamika psikologis tertentu dengan empati, bukan penghakiman.
Apa Itu Peter Pan Syndrome?
Istilah ini dikenalkan oleh Dr. Dan Kiley pada 1983 melalui bukunya The Peter Pan Syndrome: Men Who Have Never Grown Up. Kini, konsep ini dipahami secara lebih luas dan tidak terbatas pada laki-laki. Siapa pun, dari berbagai gender dan latar budaya, bisa memiliki kecenderungan serupa. Secara sederhana, Peter Pan Syndrome merujuk pada pola:
-
kesulitan menerima peran dewasa,
-
menunda tanggung jawab,
-
menghindari komitmen,
-
dan ingin mempertahankan gaya hidup “bebas seperti remaja”.
Namun penting ditekankan: itu bukan berarti seseorang tidak dewasa atau tidak mampu — melainkan sedang berjuang memahami peran baru dalam hidup.
Mengapa Fenomena Ini Terjadi?
Penelitian tentang Peter Pan Syndrome masih terbatas, tetapi beberapa faktor yang kerap muncul dalam diskusi psikologi meliputi:
-
Pola Asuh Terlalu Melindungi: Anak yang dibesarkan dalam lingkungan yang selalu “dirapikan” dari tantangan, dapat tumbuh tanpa kesempatan membangun daya tahan diri.
-
Transisi Dewasa yang Semakin Kompleks: Di era modern, menjadi “dewasa” tidak lagi sesederhana menikah atau memiliki rumah. Faktor ekonomi, sosial, dan budaya membuat proses ini makin beragam dan tidak seragam.
-
Ketakutan Emosional dan Perfeksionisme: Beberapa orang takut gagal sehingga menghindari tahapan hidup yang menuntut stabilitas dan tanggung jawab.
-
Tekanan Sosial untuk “Sukses”: Ketika standar kehidupan semakin tinggi, sebagian orang merasa beban dewasa terlalu menakutkan untuk dihadapi.
Bagaimana Dampaknya pada Kehidupan Sehari-hari?
Peter Pan Syndrome tidak selalu tampak dalam bentuk ekstrem.
Kadang ia muncul dalam dinamika halus, seperti:
-
menghindari merencanakan masa depan,
-
merasa kewalahan dengan tugas-tugas dewasa,
-
sering menunda keputusan penting,
-
kesulitan menjalani hubungan yang membutuhkan komitmen,
-
atau terlalu bergantung pada orang lain untuk stabilitas.
Sekali lagi, ini bukan tanda “kurang matang.” Ini bisa menjadi refleksi dari perjalanan perkembangan yang belum selesai — sama seperti fase-fase lain dalam hidup.
Hubungan Peter Pan & Wendy: Pembagian Peran yang Tidak Seimbang
Kiley juga menulis The Wendy Dilemma, yang menggambarkan pasangan dari “Peter Pan”: seseorang yang mengambil alih peran dewasa, mengatur, menanggung, dan menstabilkan segalanya. Dalam psikologi modern, relasi semacam ini dipahami sebagai dinamika peran yang tidak seimbang, bukan sebagai stereotipe gender. Kadang pasangan tidak sadar bahwa mereka telah masuk ke pola “yang bertanggung jawab” dan “yang diurus”. Pola seperti ini tidak selalu buruk, tetapi bisa menimbulkan kelelahan emosional jika terjadi terus menerus tanpa komunikasi.
Peter Pan Syndrome Bukan Kegagalan Diri
Banyak ciri Peter Pan Syndrome menyerupai fase perkembangan normal: mencari arah hidup, bingung memilih karier, takut berkomitmen, atau rindu masa remaja. Ini bukan tanda seseorang “tidak dewasa”, melainkan cermin dari dunia modern yang penuh tekanan dan perubahan cepat. Psikologi mencoba memahami ini sebagai fenomena sosial-emosional, bukan sebagai kekurangan pribadi.
Apa yang Bisa Kita Pelajari?
Peter Pan Syndrome mengajak kita melihat sisi lain dari proses menjadi dewasa:
-
Bahwa setiap orang memiliki kecepatan dan jalur yang berbeda.
-
Bahwa kedewasaan bukan tentang usia, melainkan penghayatan.
-
Bahwa kerinduan akan masa muda bukan sesuatu yang salah.
-
Bahwa transisi menuju kestabilan bisa terasa menakutkan bagi siapa pun.
Yang terpenting, memahami fenomena ini memberi ruang untuk empati, baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Penutup
Peter Pan Syndrome bukan label yang perlu ditakuti. Ia hanyalah sebuah lensa untuk melihat bagaimana seseorang menavigasi perubahan hidup, tuntutan sosial, dan perkembangan emosi di masa dewasa. Karena pada akhirnya, setiap orang berhak tumbuh dengan ritmenya sendiri — tanpa terburu, tanpa dibandingkan. Dewasa bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan yang kadang lambat, kadang ragu, tetapi selalu manusiawi.
Assessment Indonesia adalah biro psikologi resmi yang menjadi pusat asesmen psikologi terpercaya, serta vendor psikotes terbaik di Indonesia.
Referensi :
Kalkan, Melek, et al. “Peter Pan Syndrome “Men Who Don’t Grow”: Developing a Scale.” Men and Masculinities, vol. 24, no. 2, 12 Sept. 2019, p. 1097184X1987485, https://doi.org/10.1177/1097184x19874854.
Kubala, Kendra. “Peter Pan Syndrome: What It Is, Warning Signs, Relationships, and More.” Www.medicalnewstoday.com, 30 Aug. 2022, www.medicalnewstoday.com/articles/peter-pan-syndrome.